Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... "Oh Tuhan, aku benar-benar menyesal,
aku benar-benar malu" dengan suara serak dan parau selalu terucap
samar-samar dalam kata-kata di akhir hayat suamiku. Penyesalan yang
berakhir tragis dalam kematian.
Dahulu, di kampungku, ada
seorang dokter yang berhati sangat mulia. Beliau adalah sosok yang
rendah hati, karena tumbuh dan dibesarkan oleh seorang ibu tanpa ayah
yang harus membanting tulang sendiri untuk membesarkan anak-anaknya.
Di
perjalanan hidupnya, ia tertarik dengan seorang gadis anak Bupati,
namun gadis tersebut menginginkan syarat, Ia ingin suaminya adalah
seorang dokter, bila tidak pupuslah harapannya untuk bisa bersanding
dengannya. Karena teramat cintanya kepada gadis tersebut, dengan
gigihnya dirinya mampu menjadi seorang dokter. Akhirnya menikahlah ia
dengan gadis sang pujaan hati.
Di tengah menjalani
kehidupan mahligai rumah tangganya, ia tak pernah meminta bayaran
sedikitpun kepada kaum dhuafa, pun kepada tetangga dekatnya juga
demikian. Setiap hari ia melayani pasien yang jumlahnya tidak sedikit.
Meski
pasiennya banyak yang gratis, ia tak pernah membeda-bedakan mana pasien
yang tidak membayar dan mana pasien yang membayar. Ia menjadi sosok
yang amat dicintai dan disayangi di kampungku itu. Karena kebaikannya
itulah hingga kini namanya diabadikan sebagai nama sebuah rumah sakit di
daerah tersebut, sebagai bentuk untuk mengenang jasa-jasa semasa
hidupnya.
Sang Dokter memiliki beberapa orang pembantu
untuk mengurusi rumahnya, untuk membersihkan rumahnya, mencuci pakaian,
atau memasak dan aneka pekerjaan rumah lainnya. Suamiku dulu adalah
salah seorang pembantu di rumah sang dokter itu. Begitu perhatiannya
Sang Dokter yang mau menyekolahkan semua pembantunya. Padahal di jaman
sekarang ini sangatlah jarang pembantu yang mendapat perlakuan khusus
seperti itu.
Meski demikian, Sang Dokter seakan tak
pernah peduli akan apa yang telah dikerjakan oleh suamiku, pun suamiku
lebih banyak menghabisi makanan yang ada di kulkasnya ketimbang
mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya. Suamiku agak pemalas, mungkin karena
merasa pekerjaannya bisa dikerjakan oleh pembantu yang lainnya.
Suatu
ketika sekotak perhiasan emas milik istri Pak dokter raib entah tidak
diketahui keberadaannya. Begitu cemasnya, ia merasa kotak perhiasan
emasnya itu adalah satu-satunya benda yang paling berharga. Akhirnya, ia
melaporkan kejadian itu kepada yang berwajib. "Lebih baik diserahkan
kepada yang berwajib daripada mengira-ngira siapa pelakunya" begitulah
istri pak dokter berharap cemas. Lalu selang beberapa jam kemudian
datang petugas polisi ke rumah tersebut. Polisi tersebut membawa para
pembantu ke kantor polisi untuk segera diintrogasi. Pun termasuk
suamiku.
Namun, Belum 24 jam, Istri Pak Dokter telah
mengetahui sang pelaku, yang mengambilnya adalah adiknya sendiri yang
kala itu berkunjung ke rumahnya. Buru-buru ia menelpon kembali ke kantor
polisi. Ia meminta maaf kepada seluruh pembantunya satu persatu."Saya
minta maaf, semua itu adalah prosedur dari kepolisian" mencoba
menjelaskannya.
Satu demi satu semua pembantu
memaafkannya. Dan pada saat giliran meminta maaf pada suamiku, mata
suamiku terbelalak tajam seperti akan menerkam seekor mangsa."sampeyan
ga' pantes minta maaf, aku tidak sudi memaafkan sampeyan" kata-katanya
keras tidak seperti biasanya. Bahkan yang lebih dasyat lagi ia sampai
menendang istri sang dokter itu hingga bu dokter sempat mundur beberapa
langkah namun mampu berdiri kembali. Tangan istri pak dokter dilepas
jauh-jauh dari gengamannya seakan-akan tangan yang ada di depannya itu
tangan yang penuh oleh kotoran najis.
Sontak peristiwa
itu membuat kaget semua mata. Suasana yang awalnya haru biru, kini
berubah menjadi sebuah ketegangan. Bagaimana tidak ? Baru kali ini ada
seorang pembantu yang dengan angkuhnya berani menendang majikannya.
Sambil menunduk dengan muka penuh amarah suamiku pergi menuju kamar
pembaringannya di rumah dokter itu.
Mungkin suamiku
benar-benar marah, ia merasa harga dirinya telah diinjak-injak, karena
telah dituduh sebagai pencuri. Namun anehnya, tak ada kemarahan dari
istri sang dokter. Wajahnya yang berkulit kuning langsat, bersih dan ayu
seakan sepadan dengan ketulusannya menerima perlakuan dari pembantu,
suamiku yang tak pernah tau berterima kasih itu. Ia benar-benar
memakluminya.Pasca kejadian itu, suamiku masih bekerja di rumahnya
seperti biasa dan masih bersekolah dengan biaya Pak Dokter pula.
Kehidupan berjalan seperti biasanya.
Suatu hari, suamiku
sakit. Namun, sakitnya tak kunjung sembuh, hingga ia tak mampu lagi
melakukan apa-apa. Suamiku pamit untuk pulang ke kampung
halamannya."Kamu ndak usah pulang ke kampung, biar di sini saja, nanti
tak panggilkan mantri untuk mengurusimu, mengenai istrimu, biar kalau
dia mau, juga tinggal di sini bersamamu." dengan raut wajah penuh
keikhlasan, Pak Dokter mencoba menawarkan untuk tetap tinggal di
rumahnya."Iya, Pak Dokter benar ", istri Pak Dokter menimpali."Istri
saya minta saya pulang aja Pak.....Bu......" suamiku tetap pada
pendiriannya.
Ia akhirnya harus meninggalkan rumah sang
dokter, kembali bersama keluarga namun dalam keadaan sudah tak mampu
melakukan aktifitas apapun. Sejak kedatangannya ke kampung halamannya,
Sang Dokter yang berjiwa besar itu mengutus seorang mantri sebagai
perawat untuk mengurusi suamiku. Sakit lepra yang diderita suamiku
seakan sedang menyiksanya. Begitu teramat parahnya, hingga salah satu
kaki suamiku akhirnya harus mau untuk diamputasi. Ada banyak tangis di
saat prosesi amputasi kaki suamiku. Terlebih aku, hingga aku terjatuh
tak ingat apa-apa lagi, rupanya aku pingsan beberapa jam. Suamiku
berteriak histeri saat melihat kakinya telah hilang.
"Pak,
istighfar Pak" aku berada di sampingnya berusaha untuk menenangkannya.
Namun suamiku tetap saja masih belum mau menerima kenyataan itu, hingga
akhirnya tak sadarkan diri dalam beberapa jam. Aku hanya mampu menangis
di atas tubuhnya yang diam terbujur di ranjang kasur rumah sakit.
Hingga
datanglah hari berkabut, hari dimana duka menyelimuti kami, suamiku
pergi untuk selamanya. Menunggu babak akhir dari lelah akan sakit yang
telah mengeram lama dalam dirinya.
Sempat ia meneteskan
air mata."Mbok'e, aku ndak punya malu...... aku memang salah " dia
bertutur kepadaku dengan wajah yang iba."Pak, yang sabar, mintalah
kepada Yang Kuasa", kucoba menenangkan hati suamiku. Namun tiba-tiba ia
mengerang keras seperti ketakutan. Keras sekali, membuat kamar kami
bergema karenanya. "Inna lillahi, wa inna illaihi rooji'un" , Segera
kututup mata suamiku setelah mengetahui dirinya telah tiada.
Selang
beberapa jam kemudian, Keluarga Pak Dokter datang melayat. Seketika
datangnya Pak dokter dan istrinya, buru-buru aku mencium lutut ibu
dokter itu."Pak....Bu..... Maafkan suami saya" pintaku kepada ibu dan
pak Dokter dengan mata berkaca-kaca. Aku diselimuti oleh rasa malu tiada
berperi, hingga pandanganku tak mampu lagi kuhadapkan kepadanya.
Pak
Dokter menepuk bahuku, ia meminta aku untuk berdiri kembali."Saya dan
ibu telah memaafkannya. Mudah-mudahan Tuhan memaafkannya pula" Pak
Dokter tampak sedih seakan benar-benar memaafkannya. Istri pak Dokter
hanya mengangguk sambil memeluk tubuhku yang dingin, pertanda ia telah
memaafkannya juga. Suamiku yang kini telah terbujur kaku, menunggu
peradilan Tuhan yang kami tidak mengetahuinya.
Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya ....
Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar