Kamis, 10 Mei 2012

(Nasehat seorang suami untuk istrinya)

Istriku, engkau adalah perhiasan, beludru hijau, lambang pemujaan para sufi. Ketenangan sebuah keluarga ada di tanganmu.
Engkau adalah pasak yang dengannya sebuah sebuah gunung mampu berdiri tegak. Salam, keselamatan berlimpah kesejahteraan bagi mereka , suami yang memiliki istri shalehah.

Jadilah engkau seperti intan, mawar. Jangan engkau seperti benalu yang tidak berharga, seperti debu yang tak bernilai, sebagaimana yang dikatakan Iqbal si anak benua India........

Hilangkan ketakutan luka dan gelisah
“Jadilah keras seperti batu
walau terus di hempas badai,
namun tegar bicara kebenaran"
“Jadilah sebuah Intan
Siapa bekerja keras dan menggenggam erat
Ia menang di dunia dan berhasil

Baik disini dan di akhirat kelak.”
........

Tidakkah engkau perhatikan bagaimana sebutir intan, ia lebih mahal daripada batu sebesar apapun?
Engkau temui batu disembarang tempat, dijalanan. Dia di injak-injak manusia dan di lempar kesana kemari, sedang intan semayam di persembunyiannya, di dalam batu yang kokoh , di dalam guci yang indah, yang hanya keluar untuk sang pemiliknya.

Kemurnian intan selalu tetap terjaga; kesejukan sinarnya melebihi embun pagi di ujung daun. Dia tidak pernah berkarat. Lekukan wajahnya kian memancarkan ketenangan, namun dia kokoh melebihi bebatuan
.................
Jadilah Intan, jangan jadi setetes embun
Jadilah raksasa di dunia, seperti gunung
Dan membawa jambul milikmu
.................
Ayatullah khomeini pernah berwasiat , katanya ; “Ketenagan, ketentraman, kesejahteraan, kebahagiaan dan kemantapan hidup sebuah keluarga dikaitkan pada kaum wanita.Jika wanita menyia-nyiakan amanat dan gagal menuaikan kewajibannya, akan timbul pertengkaran, penyelewengan, kegelisahan, kelainan, kebencian dan kepahitan hidup”
Istriku, setidaknya dalam keluarga engkau telah menjadi mawar, yang menjaga kehormatannya sembari menebar bau wangi kesekelilingnya tanpa rasa bosan dan lelah.
Jangan kau gadaikan sinarmu dengan airmata dan jangan kau jual wangimu dengan penyesalan masa lalu. Jangan pula kau biarkan serangga mengoyak mahkotamu dan jangan kau biarkan tukang tambang menginjakmu dan membuat sinarmu padam.
“Jadilah seperti Intan, ! Jadilah seperti mawar !...
Jadilah diri yang berisi seperti mawar di taman
Jangan pergi ke kebun bunga untuk sebarkan baumu
Karena hidup adalah mengembangkan dirimu
Dan kumpulkan mawar dari ranjang bunga...
 

***
Jangan sampai cahayamu padam karena sebuah bola api kecil, karena seekor serangga yang haus, bola api dan serangga bukanlah halangan untuk tetap melebarkan sayap keindahanmu. Jangan sampai kesulitan hidup membuatmu menyerah...
***
Jika Anda ingin hidup, maka kehidupan itu berada ditengah-tengah bahaya.
Jika ada kesulitan , jangan menghindar darinya. Atasilah kesulitan-kesulitan itu.
Bahaya selalu merupakan suatu berkah yang tersembunyi karena akan mendatangkan yang terbaik untuk Anda...!
***
(Jangan menangis Istriku)
by : Violet senja


Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/

Kisah Menyentuh : ... SURAT KEMATIANMU ...

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...

MALAM ketika kau datang dan langsung duduk di sebelahku, memelukku, dan menyandarkan kepalamu di bahuku, aku terdiam. Bahkan kuurungkan niatku untuk meminta maaf atas kesalahan yang telah kupendam selama lima tahun ini. Karena kamu tak sedang ingin bicara. Hanya bersandar di bahuku dan memelukku dengan erat, seolah tak ingin lepas. Hingga kurasakan otot tanganmu yang kecil itu seperti membelit tubuh dari samping kiriku.

Namun aku memberanikan diri untuk bicara. Karena kupikir, terlalu berat menanggung rasa bersalah ini selama lebih dari setengah dasa warsa, sebuah waktu yang tak pendek untuk menyembunyikan sebuah kebohongan. Sedang aku mencintaimu dengan tulus, dan tak ingin kehilanganmu. “Sayang, tolong beri kesempatan aku bicara, lima menit saja,”. Kali ini dia tak hanya meresponku dengan diam dan geleng-geleng kepala. Jari telunjuknya bahkan langsung menutup bibirku, hingga lagi-lagi kubatalkan niatku.

“Plizzzzzzz, jangan kau ajak aku bicara. Kali ini saja! Aku sedang ingin memelukmu sekuat tenagaku, selama mungkin, sampai akhir hidupku. Karena aku takut akan kehilangan kesempatan ini, sehingga menyesal di kehidupan nanti,” tuturnya sambil terus menenggelamkan kepalanya di bahuku, hingga pundakku terasa berat.

Setelah itu, kau terdiam. Hening. Sunyi. Suasana di taman belakang rumahmu ini hanya menyisakan suara alam; semilir angin dan suara serangga malam. Aku baru ingat, inilah tempat yang sama di masa lalu, ketika aku memutuskan memilihmu sebagai pendamping hidupku. Di kursi yang sama ini, kaupun dulu memeluk dan menyandarkan kepalamu di bakuku dengan erat. Itu tujuh tahun lalu.

Satu bulan setelah itu, kita membacakan ikrar di depan penghulu, untuk mengikat simpul janji kehidupan rumah tangga yang abadi. Aku bahagia dan kaupun kuyakin merasakan yang sama. Namun dua tahun setelah pernikahan kita, aku menyakitimu –tanpa kau tahu. Bahkan hingga kini sekalipun.

Sebab selama lima tahun aku pendam sebuah rahasia besar, sebelum satu minggu lalu kuputuskan berhenti dari kesalahan ini. Berniat meminta maaf atas kesalahan terbesarku terhadapmu. Bila perlu, akan kucium kakimu dengan bersimpuh. “Kau harus tahu sayang, bahwa lima tahun perjalanan rumah tangga yang seolah menyenangkan ini, lama kuisi dengan kebohongan. Sebuah dusta yang mungkin tak termaafkan bagimu. Dan hari ini, ingin aku mengakui semua dosa itu dan berharap atas maafmu, yang kuragukan akan kauberikan kepadaku,”bersitku dalam hati.

Masih hening. Pun sunyi yang masih saja menyeruak, merindingkan bulu kakiku. Sampai ku tersadar, beban di pundaku serasa kian berat saja. Pelukanmu kian kaku mengunci tubuhku. Dan sentuhan tanganmu seperti memancarkan dingin. “Sayang, apakah kamu sakit? Biar kita ke dalam saja. Kamu harus mengistirahatkan tubuhmu di kamar,” ungkapku.

Dia tetap lelap, seolah tak mendengar ucapanku. Kucoba gerakkan tubuhnya. Kuangkat kepalanya, tapi berat. Matanya tetap terpejam. Aku pun memutuskan untuk membopongnya. Kucoba lepaskan pelukan tangannya dari tubuhku, tetapi tak berhasil. Aku merasakan tangannya kian dingin. Dia pun tak berreaksi sama sekali. Rini sayang, bangun. Ayo kita ke dalam,” pintaku dengan menepuk pipi kirinya. Tetapi lagi-lagi dia tak berreaksi.

Aku mulai panik. Dengan sedikit keras, kulepaskan pelukan tangannya. Dan akhirnya berhasil. Dengan cepat kuangkat tubuhnya ke dalam kamar. Kubaringkan tubuhmu secara perlahan ke tempat tidur. Kembali kucoba membangunkanmu, tapi gagal. Kau tidur sangat lelap? Aku semakin panik saja. Kudekatkan punggung telapak tanganku tepat di depan hidungmu. Oh tidak, nafasmu terhenti. Kupegang lehermu, nadimu pun tak berdenyut.

Dalam kondisi panik itu, aku akhirnya bisa memastikan, itriku telah pergi meninggalkanku selamanya. Tangisku pun pecah, mengisi seruangan rumah yang hanya kami tempati berdua, selama tujuh tahun ini. Aku menangisimu dengan keras, sambil memelukmu erat. “Tidak sayang, kamu pasti tengah bercanda dan menghiburku. Bangun sayang, jangan kau tinggalkan aku. Sungguh, aku tak sanggup,” teriakku sambil menatap wajahnya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya.

Aku berharap masih ada keajaiban, sehingga dia masih bisa hidup bersamaku untuk waktu yang panjang, sampai masa tua. Masa di mana kualitas ingatan kita berdua terus menurun. Tetapi kau tetap memanggilku papah dengan lembut. Akupun memanggilnya dengan sebutan sayang. Kita masih bisa mandi bareng, melestarikan kasih sayang penuh romantisme, hingga saat-saat maut menjemput salah satu dari kita, lalu yang lainnya mengidap sepi yang sangat.

Aku terus berkhayal tentang masa depan bersamanya, sampai ujung hidup merenggut nyawa. Imajinasiku terus melayang, terus terbang, dan tanpa sadar aku nyaris tertidur. Seketika kulepaskan pelukanku, kutatap dalam-dalam wajah istriku. Air mataku menetes perlahan dan terus membanjiri pipiku. Memandangi wajahnya yang tetap cantik dan tersenyum, meski kini wajahnya telah pucat. Dia meninggalkanku dengan senyum. Tidak sepertiku yang ditinggal dengaan rasa salah, feeling guilty yang menyesakkan dadaku. Tubuh ini seperti terangkat, terbang ke cakrawala langit, hingga nafas terengah-engah.

Aku mencoba bangun, ketika tanganku merasakan sentuhan sesuatu di saku kaus berkerah istriku. Akupun mengambilnya, ternyata selembar kertas catatan. Kuberanikan diri membukanya, sedikit demi sedikit, lalu membacanya.

“Untuk suamiku tercinta, lelaki terbaik yang Tuhan kirimkan untuk mendampingiku. Aku mensyukurinya, meski harus menyesal, karena sedemikian singkat aku menikmati masa-masa indah bersama lelaki yang kubayangkan seperti pangeran berkuda dari negeri antah barantah.

Suamiku, maafkan aku, karena hanya sedikit waktu yang bisa kudedikasikan untukmu. Kanker di rahimku ini tak lagi mampu kutahan, hingga merenggut nyawaku, di usia ketujuh pernikahan kita. Sayang, aku sangat menikmati masa-masa bersamamu, sehingga tak pernah terbayangkan dalam hati dan pikiranku, untuk berpaling sejenak pun darimu. Sungguh, cintamu tak pernah tergantikan dengan lelaki manapun. Untuk satu hal ini, aku mengucap syukur kepada Tuhanku setiap waktu. Sungguh, aku merasakan keindahan bersamamu, yang tak mungkin mampu kudefinisikan.

Tetapi aku menyadari kekuranganku sebagai istri, yang secara wajar tak bisa memberikanmu keindahan memadu asmara, di setiap malam yang kaum impikan. Aku menyadari itu dan kamu pun tentu telah menyadari resiko itu sejak pertama kali memutuskan meminangku untuk hidupmu.

Itu sebabnya, aku tak marah, ketika kutahu, engkau tah tahan juga –sebagai lelaki normal- untuk mencari kepuasan dari perempuan lain yang bisa memuaskanmu. Di awal tahun ketiga pernikahan, ketika engkau mulai tergoda seorang perempuan cantik dan seksi itu, aku pun bukan tak tahu. Kudiamkan sebagai sebuah bentuk pengabdian cintaku kepadamu. Bahkan ketika akhirnya kau menikahi perempuan itu secara siri, lalu mendapatkan keturunan darinya, aku pun tak marah.

Kau mungkin tak tahu. Bahwa ketika perempuan itu berberat hati untuk menerima tawaranmu menikah, karena dia menghormati aku, maka aku pula yang meyakinkannya, tanpa sepengatahuanmu, untuk menerimamu. Aku tahu, dia perempuan yang tak hanya mampu memenuhi kebutuhan akan kepuasan biologis. Lebih dari itu, dia adalah perempuan yang jujur, berhati baik dan tulus. Dan terutama, dia sangat menyayangimu, sepertiku.

Suamiku, engkau adalah laki-laki dengan sketsa wajah yang telah kukenali secara dalam. Bahkan bau keringatmu pun kuhafal, hingga ujung hidupku. Kau tak perlu meminta maaf, atas keputusanmu mencintai perempuan desa itu, untuk menikahinya, dan untuk memberinya keturunan. Aku tak marah. Ini konsekuensi cinta yang harus kubayar. Karena kutahu, hingga akhir hayatku, engkau masih setia menemaniku, tak pernah terbersit sedikitpun meninggalkanku. Menemaniku hingga saat-saat kematianku adalah lebih dari cukup bagiku, perempuan tak normal yang gagal memberikanmu keturunan.

Jangan pernah menyesal dan menangisi keputusanmu itu. Dan kau pun tak perlu meminta maaf. Karena sejak awal kutahu keputusanmu itu, aku telah memaafkanmu. Sama sekali aku tak menganggapmu berselingkuh, apalagi mengkhianatiku. Maka, untuk yang terakhir kalinya, aku memintamu memberiku satu senyuman terindah, seperti yang pernah tercatat dalam keabadaian hatiku, saat pertama kali kau tatap wajahku.

Selamat tinggal suamiku tersayang. Kutunggu kau, pertemuanmu dan anak-anakmu, di kehidupan berikutnya. Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu.

Istrimu yang sangat mencintaimu,Rini

Mendadak semuanya gelap. Tak ada kehidupan. . . .

- Oleh Akhmad Saefudin -

*****************************************************************************

Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/

DAMPINGI AKU... Hingga Ajal Menjemputku...



Disebuah rumah sederhana yang asri tinggal sepasang suami istri yang sudah memasuki usia senja. Pasangan ini dikaruniai dua orang anak yang telah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri yang mapan. Sang suami merupakan seorang pensiunan sedangkan istrinya seorang ibu rumah tangga.

Suami istri ini lebih memilih untuk tetap tinggal dirumah mereka menolak ketika putra-putri mereka menawarkan untuk ikut pindah bersama mereka. Jadilah mereka, sepasang suami istri yang hampir renta itu menghabiskan waktu mereka yang tersisa dirumah yang telah menjadi saksi berjuta peristiwa dalam keluarga itu. Suatu senja ba’da Isya disebuah mesjid tak jauh dari rumah mereka, sang istri tidak menemukan sandal yang tadi dikenakannya kemesjid tadi. Saat sibuk mencari, suaminya datang menghampiri

“Kenapa Bu?” Istrinya menoleh sambil menjawab “Sandal Ibu tidak ketemu Pa”. “Ya udah pakai ini saja” kata suaminya sambil menyodorkan sandal yang dipakainya. walau agak ragu sang istri tetap memakai sandal itu dengan berat hati. Menuruti perkataan suaminya adalah kebiasaannya. Jarang sekali ia membantah apa yang dikatakan oleh sang suami.

Mengerti kegundahan istrinya, sang suami mengeratkan genggaman pada tangan istrinya.

“Bagaimanapun usahaku untuk berterimakasih pada kaki istriku yang telah menopang hidupku selama puluhan tahun itu, takkan pernah setimpal terhadap apa yang telah dilakukannya. Kaki yang selalu berlari kecil membukakan pintu untuk-ku saat aku pulang, kaki yang telah mengantar anak-anakku ke sekolah tanpa kenal lelah, serta kaki yang menyusuri berbagai tempat mencari berbagai kebutuhanku dan anak-anakku”.

Sang istri memandang suaminya sambil tersenyum dengan tulus dan merekapun mengarahkan langkah menuju rumah tempat bahagia bersama….Karena usia yang telah lanjut dan penyakit diabetes yang dideritanya, sang istri mulai mangalami gangguan penglihatan. Saat ia kesulitan merapikan kukunya, sang suami dengan lembut mengambil gunting kuku dari tangan istrinya.

Jari-jari yang mulai keriput itu dalam genggamannya mulai dirapikan dan setelah selesai sang suami mencium jari-jari itu dengan lembut dan bergumam “Terimakasih”.

“Tidak, Ibu yang terimakasih sama Bapak, telah membantu memotong kuku Ibu” tukas sang istri tersipu malu. “Terimakasih untuk semua pekerjaan luar biasa yang belum tentu sanggup aku lakukan. Aku takjub betapa luar biasanya Ibu. Aku tau semua takkan terbalas sampai kapanpun” kata suaminya tulus.

Dua titik bening menggantung disudut mata sang istri “Bapak kok bicara begitu?

Ibu senang atas semuanya Pa, apa yang telah kita lalui bersama adalah luar biasa.

Ibu selalu bersyukur atas semua yang dilimpahkan pada keluarga kita, baik ataupun buruk. Semuanya dapat kita hadapi bersama. Hari Jum’at yang cerah setelah beberapa hari hujan. Siang itu sang suami bersiap hendak menunaikan ibadah Shalat Jum’at,

Setelah berpamitan pada sang istri, ia menoleh sekali lagi pada sang istri menatap tepat pada matanya sebelum akhirnya melangkah pergi. Tak ada tanda yang tak biasa di mata dan perasaan sang istri hingga saat beberapa orang mengetuk pintu membawa kabar yang tak pernah diduganya.

Ternyata siang itu sang suami tercinta telah menyelesaikan perjalanannya di dunia. Ia telah pulang menghadap sang penciptanya ketika sedang menjalankan ibadah Shalat Jum’at, tepatnya saat duduk membaca Tahyat terakhir. Masih dalam posisi duduk sempurna dengan telunjuk kearah Kiblat, ia menghadap Yang Maha Kuasa.

“Subhanallah sungguh akhir perjalanan yang indah” gumam para jama’ah setelah menyadari kalau dia telah tiada. Sang istri terbayang tatapan terakhir suaminya saat mau berangkat kemesjid.

Terselip tanya dalam hatinya, mungkinkah itu sebagai tanda perpisahan pengganti ucapan selamat tinggal. Ataukah suaminya khawatir meninggalkannya sendiri didunia ini. Ada gundah menggelayut dihati sang istri. Walau masih ada anak-anak yang akan mengurusnya, Tapi kehilangan suami yang telah didampinginya selama puluhan tahun cukup membuatnya terguncang. Namun ia tidak mengurangi sedikitpun keikhlasan dihatinya yang bisa menghambat perjalanan sang suami menghadap Sang Khalik.

Dalam do’a dia selalu memohon kekuatan agar dapat bertahan dan juga memohon agar suaminya ditempatkan pada tempat yang layak. Tak lama setelah kepergian suaminya, sang istri bermimpi bertemu dengan suaminya. Dengan wajah yang cerah sang suami menghampiri istrinya dan menyisir rambut sang istri dengan lembut. “Apa yang Bapak lakukan?’ tanya istrinya senang bercampur bingung.

“Ibu harus kelihatan cantik, kita akan melakukan perjalanan panjang. Bapak tidak bisa tanpa Ibu, bahkan setelah kehidupan didunia berakhir, Bapak selalu butuh Ibu. Saat disuruh memilih pendamping Bapak bingung, kemudian bilang pendampingnya tertinggal, Bapakpun mohon izin untuk menjemput Ibu.”

Istrinya menangis sebelum akhirnya berkata “Ibu ikhlas Bapak pergi, tapi Ibu juga tidak bisa bohong kalau Ibu takut sekali tinggal sendiri. Kalau ada kesempatan mendampingi Bapak sekali lagi dan untuk selamanya tentu saja tidak akan Ibu sia-siakan. Sang istri mengakhiri tangisannya dan menggantinya dengan senyuman. Senyuman indah dalam tidur panjang selamanya…..

Karya Riny Yunita : Ladang Cakiah, 7 April 2008

Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/

::..Mukjizat Nyanyian Seorang Kakak ..::





Kisah nyata ini terjadi di sebuah Rumah Sakit di Tennessee , USA . Seorang ibu muda, Karen namanya sedang mengandung bayinya yang ke dua.

Sebagaimana layaknya para ibu, Karen membantu Michael anaknya pertama yang baru berusia 3 tahun bagi kehadiran adik bayinya.

Michael senang sekali akan punya adik. Kerap kali ia menempelkan telinganya diperut ibunya. Dan karena Michael suka bernyanyi, ia pun sering menyanyi bagi adiknya yang masih diperut ibunya itu. Nampaknya Michael amat sayang sama adiknya yang belum lahir itu.

Tiba saatnya bagi Karen untuk melahirkan. Tapi sungguh diluar dugaan, terjadi komplikasi serius. Baru setelah perjuangan berjam-jam adik Michael dilahirkan.

Seorang bayi putri yang cantik, sayang kondisinya begitu buruk sehingga dokter yang merawat dengan sedih berterus terang kepada Karen ; " bersiaplah jika sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi...."

Karen dan suaminya berusaha menerima keadaan dengan sabar dan hanya bisa pasrah kepada yang Kuasa. Mereka bahkan sudah menyiapkan acara penguburan buat putrinya sewaktu-waktu dipanggil Tuhan. Lain halnya dengan kakaknya Michael , sejak adiknya dirawat di ICU ia merengek terus...!!

Mami, … aku mau nyanyi buat adik kecil..!! Ibunya kurang tanggap.

Mami, … aku pengen nyanyi..! Karen terlalu larut dalam kesedihan dan kekuatirannya.

Mami, … aku kepengen nyanyi..! Ini berulang kali diminta.

Michael bahkan sambil meraung menangis. Karen tetap menganggap rengekan Michael rengekan anak kecil.

Lagi pula ICU adalah daerah terlarang bagi anak-anak.

Baru ketika harapan menipis, sang ibu mau mendengarkan Michael. Baik, setidaknya biar Michael melihat adiknya untuk yang terakhir kalinya. Mumpung adiknya masih hidup..!


Ia dicegat oleh suster didepan pintu kamar ICU. Anak kecil dilarang masuk!. Karen ragu-ragu. Tapi, suster…. suster tak mau tahu ; ini peraturan ! Anak kecil dilarang dibawa masuk!

Karen menatap tajam suster itu, lalu katanya :

"Suster, sebelum menyanyi buat adiknya, Michael tidak akan kubawa pergi! Mungkin ini yang terakhir kalinya bagi Michael melihat adiknya..!"

Suster terdiam menatap Michael dan berkata, tapi tidak boleh lebih dari lima menit!.

Demikianlah kemudian Michael dibungkus dengan pakaian khusus lalu dibawa masuk ke ruang ICU. Ia didekatkan pada adiknya yang sedang tergolek dalam sakratul maut. Michael menatap lekat adiknya … lalu dari mulutnya yang kecil mungil keluarlah suara nyanyian yang nyaring

“… You are my sunshine, my only sunshine, you make me happy when skies are grey …”

Ajaib! si Adik langsung memberi respon. Seolah ia sadar akan sapaan sayang dari kakaknya.

You never know, dear, How much I love you. Please don’t take my sunshine away.

Denyut nadinya menjadi lebih teratur. Karen dengan haru melihat dan menatapnya dengan tajam dan terus, … terus Michael! teruskan sayang! … bisik ibunya …

The other night, dear, as I laid sleeping, I dream, I held you in my hands … dan sang adikpun meregang, seolah menghela napas panjang. Pernapasannya lalu menjadi teratur …

I’ll always love you and make you happy, if you will only stay the same …

Sang adik kelihatan begitu tenang … sangat tenang.

Lagi sayang! bujuk ibunya sambil mencucurkan air matanya. Michael terus bernyanyi dan … adiknya kelihatan semakin tenang, relax dan damai … lalu tertidur lelap.

Suster yang tadinya melarang untuk masuk, kini ikut terisak-isak menyaksikan apa yang telah terjadi atas diri adik Michael dan kejadian yang baru saja ia saksikan sendiri.

Hari berikutnya, satu hari kemudian si adik bayi sudah diperbolehkan pulang. Para tenaga medis tak habis pikir atas kejadian yang menimpa pasien yang satu ini. Mereka hanya bisa menyebutnya sebagai sebuah therapy ajaib, dan Karen juga suaminya melihatnya sebagai Mujizat Kasih Ilahi yang luar biasa, sungguh amat luar biasa! tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata.

Bagi sang adik, kehadiran Michael berarti soal hidup dan mati. Benar bahwa memang Kasih Ilahi yang menolongnya. Dan ingat Kasih Ilahi pun membutuhkan mulut kecil si Michael untuk mengatakan “How much I love you”.

Dan ternyata Kasih Ilahi membutuhkan pula hati polos seorang anak kecil “Michael” untuk memberi kehidupan.

Itulah kehendak Tuhan, tidak ada yang mustahil bagi_NYA bila IA menghendaki terjadi....

..::♥::....::♥::....::♥::....::♥::....::♥::....::♥::....::♥::....::♥::....::♥::....::♥::....::♥::....::♥::..

Kadang hal-hal yang menentukan , dalam diri orang lain …
Datang dari seseorang yang kita anggap lemah …
Hadir dari seseorang yang tidak pernah kita perhitungkan …

Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/

Temani Aku Tidur …Ibu!!! (Kisah Nyata)

 
 
Sebagai seorang wanita yang cantik, Dina memiliki hampir segala yang diimpikan kaum wanita. Parasnya ayu, manies dan selalu enak dipandang. Bentuk hidung, mata, alis, bulu mata hingga ke garis pipi yang tertata indah bak bulu perindu diatas bintang timur diwaktu senja. Posturnya tubuhnya sangat ideal untuk seorang wanita. Kulitnya yang putih dan jenis rambutnya yang panjang hitam bergelombang menambah nilai keaggunannya. Kemolekan lekuk tubuhnya menyebabkan ia sering disebut wanita terseksi.

Dina, seorang wanita karir pada salah satu perusahaan swasta besar di Ibukota, termasuk wanita yang cerdas. Ditunjang pendidikan formalnya yang merupakan alumni Pasca Sarjana Komunikasi Universitas ternama.

Loyalitas terhadap perusahaan tidak diragukan lagi, sehingga menjadikan dirinya sebagai salah satu ’maskot’ pegawai diperusahaannya. Tak heran bila karirnya bagai ’rising’ star. belum sepuluh tahun bekerja, dia sudah menduduki jabatan penting, setingkat Department Head (Kepala Bagian). Dikenal dekat dengan bawahan. Suppel dan mampu berkomunikasi dengan baik dengan jajaran pimpinan. Tipikal Dina selalu menjadi bahan pembicaraan dikalangan pegawai, gunjingan hingga tentu saja ’fitnah’ dari orang-orang yang tidak menyukainya. Apalagi ketika terdengar kabar bahwa dia akan dipromosikan menjadi salah satu deputy kepala divisi.

’ah…paling dengan keseksiannya’ kata mereka yang tidak suka.

”Ibu mau kemana….?” tanya Fitri, puteri bungsunya

”Ibu mau berangkat ke kantor nak…” jawab Dina, sambil merapihkan pakaiannya

”Kok masih gelap bu….bareng ayah gak bu…?” tanya Fitri lagi dengan bahasa anak yang agak cadel

”Ayah khan belum pulang nak. Masih di Bandung…” jawab dina, tanpa memalingkan wajah dari cermin hiasnya

Jam masih menunjukkan pk. 04.25 pagi. Hari masih gelap. Anak-anaknya masih terlelap, kecuali Fitri yang terbangun karena mendengar suara peralatan riasnya.

”Aku tidak boleh terlambat…aku harus tiba sebelum Bos dan Klienku datang..” pikir Dina dalam hati

”Bu, aku masih mau tidur….” kata Fitri

”Iyya nak….”

.Dina mencium kening anak puteri satu-satunya itu. Dengan penuh kasih sayang dipeluknya erat sambil berkata pelan, ”Nanti sekolah sama si Mbok ya….sarapan disekolah juga gak apa-apa kok…Ibu harus berangkat pagi-pagi…”

”Ah, Ibu…kemarin sudah pegi pagi…kemarinnya lagi pagi, sekarang pagi lagi…” keluh Fitri, dengan menggeleng-gelengkan kepalanya

”Fitri, Ibu bekerja juga untuk Fitri. Untuk sekolah Fitri dan Adit…..untuk membelikan Fitri rumah-rumahan dan masak-masakan…” jawab Dina pelan

”Tapi Ibu selalu pulang malam. Fitri gak pernah tidur bareng Ibu. Makan sama si Mbok…sekolah juga sama si Mbok….” keluh Fitri lagi sambil menggulingkan tubuhnya.

”Fitri, Ibu mau berangkat…..kamu berangkat sama si Mbok ya…!” seru Dina dengan sedikit keras dan wajah agak memerah.

Dina segera keluar kamar. Dia memang tidur bersama anak puterinya yang masih berusia tiga tahun. Ketika akan membuka pintu kamar, Dina menyempatkan diri melihat raut wajahnya dicermin.

Terlihat jelas rona merah diwajahnya. Warna kulitnya yang putih menambah kejelasan ’rona merahnya’. Dina menghela nafas panjang, kemarahan sesaat telah merubah tutur bahasanya. Sudah merubah pula paras ayunya…

”Huh…Fitri selalu membuat aku marah….Fitri sering memperlambat jalanku ke kantor…” keluhnya sambil mengusap keringat didahinya.

”Ah sudah pk. 04.45…aku bisa terlambat …”

Dina mempercepat langkahnya. Sampai diteras rumah keraguan muncul dihatinya….Dia belum sempat bicara dengan Adit, anak sulungnya…

”Ah dia khan sudah tujuh tahun. Sudah lebih besar. Dia pasti ngerti lah…”

Presentasi mengenai pengembangan perusahaan, khususnya bidang komunikasi, kemitraan dan pemasaran yang dipaparkan Dina memdapatkan sambutan luar biasa dari Stake Holder (Pemegang Saham, Komisaris, Jajaran Direksi dan Mitra Kerja). Sambutan itu ditandai dengan tepuk tangan meriah sambil berdiri dan ucapan selamat yang seolah tak putus.

Senyum sumringah tersembul dari wajah Dina. Perasaan puas memenuhi rongga hatinya. Dia menghela nafas panjang. Memejamkan mata sesaat….”Akhirnya aku berhasil….”

Untung aku bisa mempersiapkan diri dengan baik. Untung juga aku tiba lebih awal sehingga bisa mengkondisikan semuanya…….

”Dina selamat ya….tidak sia-sia kami menempatkan kamu sebagai Dept Head Promosi & Kemitraan…..” kata seorang Direksi sambil menjabat erat tangan Dina.

Jabatan tangan yang terasa ’lain’. Terasa ada getaran ’hangat’ yang menjalar melalui jari-jari terus hingga pangkal tangan, dan meluncur deras dihati. Jantung berdegup kencang…entah perasaan apa itu. Yang jelas perasaan itu membuatnya pikirannya ’kacau’, hatinya diliputi oleh suatu misteri..entah misteri apa

”Dina, kerja kamu luar biasa…..masih muda, cantik, jenius….tak salah jika Perusahaan memberimu posisi tsb…..” kata seorang Komisaris

Pujian komisaris menambah kencang degup jantungnya…seolah darah berhenti mengalir. Seolah kaki sulit untuk digerakkan. Dengan menghirup nafas pelan, Dina membalas pujian tsb

”Terima kasih Pak..terima kasih…semua berkat bantuan dan bimbingan Bapak…”

”Berapa usiamu sekarang… adakah 40…?” tanya Komisaris itu lagi

Dina tersipu malu…..rona merah kembali menghiasi wajahnya….

”Saya baru 34…. Pak…” jawab Dina sambil tertunduk malu

”Wow…Surprise…kita memiliki calon direksi termuda. Cantik, jenius dan ber-visi…semoga kamu sukses ya….”

Dina terkesima. Tak percaya. Calon direksi….? ah, gak mungkin… aku salah dengar….

Minggu, pk. 04.00 Dina terbangun.

Ohhhhh….lelah pikiran dan badannya membuatnya agak sedikit malas untuk bangun. Namun undangan stake holder untuk sekedar minum kopi pagi di Kafe Padang Golf mengharuskan dia untuk segera bergegas…..

”Ah….ngantuknya…..”

Dina kembali merahkan badannya….rasanya dia ingin meliburkan diri bersama anak-anaknya….terutama Fitri yang kemarin membuatnya sedikit marah….

Tapi…undangan Direksi dan Komisaris adalah sebuah ’Perintah’…laksana titah Raja yang harus dijalankan, meskipun hanya ajakan sambil lalu…

”Ahhhh…..”

Dina mulai menyiapkan diri. Mandi pagi dan sedikit bersolek….tampil agak cantik dan…hmmmm..seksi dikit rasanya tidak apa-apa. Toh akan bersantai bersama orang-orang penting ’penguasa’ kantor….’apalagi bila….bila ada yg tertarik padaku…’ pikirnya..

’ah pikiran ngelantur…..’ pikirnya lagi

”Ibuuuu….Tolong tiduri aku Bu….” seru Adit sambil berjalan pelan dan membawa bantal guling yang sarung entah kemana

”Adiiit….?” tanyanya heran

”Adiit….” seru Dina kembali. Heran, tidak biasanya Adit bangun pagi dan pindah ke kamarnya.

”Ibuuu…tolong tiduri aku bu…semalam aku gak bisa tidur…aku kepikiran Ayah….aku ingin bermain bersama Ayah….”

”Adit. Hari ini Ibu masuk kantor….Ibu akan bertemu Bos di kantor…” jawab Dina

”Ibuuu…tolong tiduri aku…aku ngantuk …pengen tidur bareng Ibu…” pinta Adit, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Dina, Ibundanya…

Dina terdiam. Hatinya semakin membuncah….perasaan malas memenuhi undangan Direksi kembali muncul….tapi motivasi untuk memperlihatkan loyalitas demikian tinggi…dus, dia sudah berdandan seksi.

Diusap-usap perlahan kepala Adit. Rambutnya yang sedikit ikal bergelombang mirip seperti rambutnya. Bentuk wajahnya yang agak oval dan halus merujuk pada ayahnya…

”ahhh..aku jadi ingat Mas Darman. Wajah Adit mirip ayahnya….semalam dia memberi kabar kalau Meeting di bandung diperpanjang karena banyak Klien baru yang ikut datang….” bathin Dina dalam hati….seketika ia merasa bersalah dengan suaminya.

”Adiiit, Ibu harus pergi sayang…..Ibu harus masuk kantor…..”

”Tapi buu…” Adit tidak bisa meneruskan kalimatnya, karena Dina mengangkat kakinya perlahan, sehingga kepala Adit berpindah ke bagian pinggir tempat tidur.

Dina meneruskan riasannya dimuka cermin yang ada di sisi kanan tempat tidurnya. Bibirnya diolesi lipstick tipis warna merah muda, sesuai dengan pakaian yang dikenakannya. Pakaian terbaik yang dimilikinya, hadiah Ulang Tahun dari Mas Darman suami tercinta.

”Mas Darman pasti akan silau bila melihat aku sekarang. Pasti akan memujiku ’Cantiiik’..hehehe…sayang dandananku saat ini untuk orang lain….”

”Huk..huk..huk..” suara batuk kecil beriak keluar dari mulut Adit

”Adiit, kamu batuk. Jajan apa kamu kemarin” tanya Dina sambil terus memainkan penghalus bedak dipipinya

”Huk..huk..huk..” suara itu kembali terdengar

“Mboookkk….tolong ambilkan air putih hangat. Adit batuk nih” teriak Dina dari dalam kamarnya

Tepat pk. 05.00 Dina meluncur menuju Kafe Padang Golf. Perjalanan akan memakan waktu 30 menit. Cukuplah. Karena pertemuan dan sarapan kopi pagi baru akan dimulai pk. 06.00. Tapi biasanya banyak yang sudah datang dengan perlengkapan stick golf, termasuk pemilihan ’caddy’ pendamping permainan golfnya nanti.

Dina sangat menikmati suasana Kopi Paginya. Dia begitu cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tidak ada lagi perasaan canggung, malu dan minder bercengkerama dengan jajaran Direksi, Komisaris dan Pimpinan Unit Mitra Kerja. Apalagi dalam acara yang dikemas secara informal ini. Seolah ia sudah menjadi bagian dari mereka. Jajaran elit perusahaan.

”Penuhi jiwa ini dengan satu rindu…rindu untuk mendapatkan rahmat-Mu…meski tak layak ku harap debu Cinta-MU” ringtone HP Dina berbunyi….

”Maaf Pak,,,,,,,” Dina tak sanggup meneruskan kata-katanya untuk meminta ijin mengangkat Hpnya

”Silakan ..silakan….ini suasana santai kok” jawab salah seorang Direksi

”Permisi Pak”

”Meski begitu ku akan bersimpuh… Penuhi jiwa ini dengan satu rindu…rindu untuk mendapatkan rahmat-Mu….” ringtone itu terus berbunyi…

Ditempat yang agak jauh dari kerumunan orang Dina mengangkat Hpnya…

”Hallo….” sapanya

”Bu…kamu ada dimana sekarang….?” tanya suara disana dengan lembut

”Sedang bersama Direksi dan komisaris di kantor.. Yahas…” jawab Dina

Ohhh,…ternyata dari mas Darman, suaminya. Dina terbiasa memanggilnya Ayah, menyesuaikan diri dengan panggilan anak-anaknya

”Loch emangnya masuk… ?” tanya Mas Darman lagi

”Iyya Yah…”

”kapan pulangnya…Adit sakit di rumah kata si Mbok…”

”nanti siang…..atau mungkin juga sore…”

”Yaa sudah…biar Ayah saja yang pulang segera”

Pk. 15.30 Dina kembali kerumahnya. Sarapan Kopi Pagi di kafe Padang Golf ternyata diteruskan dengan acara ramah tamah dan meeting informal dengan Mitra Kerja dan Klien. Beberapa Kontrak Kerja ’deal’ setengah kamar dalam ramah tamah itu. Dina baru mengetahui kalau banyak ’deal’ ’deal’ kontrak kerja yang putus di Kafe, Padang Golf serta jamuan makan. Mungkin karena lebih santai dan informal….pikirnya, sehingga lebih mudah untuk bicara dari hati ke hati

Tiba di ujung jalan pemukiman, Dina melihat banyak orang berduyun menuju satu rumah dengan membawa nampan, rantang dan gelas-gelas kecil.

”Ada apa ini…?” tanya Dina dalam hati

Ada bendera kuning terikat di atas tiang listrik tepi jalan…

”Ohh ada yang meninggal….”

Dina mempercepat langkahnya. Ia juga ingin melayat. Ia tak ingin juga tertinggal dalam urusan sosial di lingkungannya….

Tak berapa lama Dina tersentak. Kakinya kaku tak bisa digerakkan….dia melihat banyak orang berkerumun dipekarangan rumahnya. Kebanyakan ibu-ibu dan wanita yang mengenakan pakaian berwarna gelap dan berkerudung. Bapak-bapak ada di ruang tengah…

”ohh…apakah…apakah…..”

”Tidaaaakkkkkkkkk”

Dina mencoba untuk berlari. Namun kakinya semakin sulit bergerak.

Air mata Dina deras mengalir ketiak ia melihat seorang bapak berpeci hitam dan berpakaian muslim putih sedang melantunkan ayat-ayat Qur’an. Dari suaranya tersendat terlihat jelas bahwa Bapak itu menahan tangis. Kadang sesegukan sesekali menghambat laju bacaan Qur’annya..

”Mas Darman…..Ayahhhhhh” seru Dina setengah berteriak

“Ayah siapa yang meninggal Yah….?” tanya Dina kepada Bapak yang sedang mengaji tadi

”Ayah..siapa yah….?” tanyanya lagi

Bapak tadi tidak menjawab. Telunjuk jarinya mengisyaratkan bahwa Dina bisa membuka kain kafan yang belum tertutup

Dengan sedikit merangkak, Dina berjalan tersendat, dan membuka kain kafan penutup wajah si mayit.

”Yaa Allah…Aadiiitttt” Dina langsung memeluk tubuh jenazah itu

”Maafkan Ibu Nak….maafkan Ibu nak…….” teriak Dina keras, membuat seisi rumah menoleh kepadanya. Bahkan beberapa orang yang berada di luar juga berlari kearah rumah

”Adddiiiiittttt….Sini nak…Ibu akan tiduri kamu…Ibu akan tidur bersamamu Nak…..”

”Addiiittttt bangun nak..Ibu sudah pulang…Ibu sudah pulang nak….”

”Ibu ingin tidur bersama mu….”

Dina meraung keras seperti anak kecil yang kehilangan orang tuanya….air matanya mengalir deras. Tak kuasa menahan sedih. Rasanya ingin sekali ia menggoyang-goyangkan tubuh kaku itu agar kembali bergerak….namun Mas Darman segera merangkulnya. Memeluknya. Dan mencium keningnya…

”Bu….ini salah kita..salah Ayah….Ayah terlalu sering meninggalkan keluarga..”

”Bukan Yah…ini salah Ibu…tadi pagi Adit minta ditemani tidur, tapi Ibu tolak…”

”Ya sudahlah…ini salah kita semua. Adit terkena paru-paru basah akut. Dan terlambat ditolong…..”

"Anak, isteri, suami dan keluarga adalah perhiasan dunia. Perhiasan yang paling indah adalah istri yang sholeh (Amar’atush-Sholihah), suami yang adil (’imamun ’adilun) dan anak-anak yang mendoakan orang tuanya (awaladdun sholihin yad’ulah)"

Salam ukhuwah


Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/

Tasbih Cinta Untuk Istriku

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... 

Lelaki itu terpekur diatas sajadahnya. Hatinya begitu gelisah. Air mata masih terus meleleh membasahi wajahnya yang selalu bersinar karena air wudhu. Berat rasanya melakukan semua ini. Bayang bayang sang istri tercinta,menari nari di benaknya.

Tapi semua memang harus dilakukan demi kebaikan keluarga dan kedua buah hatinya. Ia bukan sosok lelaki pengobral cinta,juga bukan lelaki yang suka menghianati istrinya. Sama sekali bukan. Justru ia adalah sosok lelaki yang yang sangat shaleh dan santun dalam kesehariannya.Ia hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk kedua buah hatinya,bukan menghianati istri nya.

Laki laki itu meraih sebuah foto perempuan yang sangat dicintainya.Sejenak,ia memandangi foto itu dan membelainya dengan airmata yg masih terus mengalir.Ia terus menangis atas keputusan yang telah diambilnya.Hatinya sedikit bimbang,apakah ini benar atau salah.Hatinya berbisik mesra,seolah tengah berkata pada istri tercinta.

“ Duhai kekasih,tak kan hilang dirimu dalam hatiku.Kupastikan nama dan segala kenangan tentang dirimu kan selalu hidup dalam sanubariku.Walau pada saatnya nanti keadaan meniscayakan seseorang menempati posisimu dalam kehidupanku,cintaku pada mu akan selalu terjaga dalam taman kasih sayang Nya.. Sungguh.. dari awal kita berjumpa,aku memang sangat mencintaimu karena-NYA.

Jangan kau menuduhku menghianati cinta kita berdua,dan akupun tidak sedang berkata bahwa aku tak sepenuhnya mencintai dirinya.Aku berharap kau mengerti,dan aku yakin kaupun memahami.Cinta kita adalah milik kita berdua, cintaku dengannya….ah…..kuharap kau melakukan hal yang sama. Bukan atas nama penghianatan,tapi atas nama penjagaan diri,keluarga dan kehormatan. Bukankah ini yang dulu telah kita ikrarkan?”

===00===00===00===00===00===00===00===00===00===00===00===00===00===

Pagi yang cukup cerah, pagi dimana sepuluh tahun yang lalu lelaki itu mengucapkan janji suci meminang perempuan yang amat dicintainya.Pagi dimana sepuluh tahun yang lalu keduanya mengikat janji untuk selalu menjaga cinta dan kesetiaan mereka.Kicauan burung dan hembusan angin yang sepoi-sepoi,seolah turut mengantarkan lelaki itu berjalan menuju sebuah tempat yang teramat sangat istimewa. Setidaknya bagi dirinya. Karena disana,ia bisa bermesraan sepuasnya dengan istri tercinta. Bercakap-cakap berdua,tentang masa lalu mereka, tentang kisah cinta mereka,dan tentang kemesraan yang terjadi antara mereka berdua.

“ Qabiltu nikahaha wa tazwijaha,Alifa binti Hamzah Assidiqi liy nafsiy bimahril madzkuur haalan.”

Saat itu, sepuluh tahun yang lalu,semuanya terasa begitu tenang. Tak ada sedikitpun awan yang menutupi megahnya biru langit-NYA. Mataharipun tersenyum manja dengan tidak terlalu menampakkan sinar panasnya,dan angin berhembus tenang, menggerakkan dedaunan dan rerumputan yang seolah terlihat bagai balerina dengan gerakannya yang memesona.

Semua seolah ingin menyaksikan sebuah perjanjian yang terucap untuk mengikat dua manusia berbeda jenis untuk menjadi satu. Sebuah perjanjian yang setara dengan perjanjian Rabb dengan Rasulnya. Miitsaqan Ghaliidza.

Lelaki itu terus berjalan menuju tempat itu untuk menemui istri tercinta.Tak kuasa ia menahan airmata. Ada rasa bersalah atas apa yang telah ia putuskan ini,Tapi, demi kebaikan kedua buah hatinya,ia harus tetap melakukannya. Airmata terus membanjiri matanya setelah ia hampir sampai di tempat tujuannya.Bayangan istri tercinta semakin tampak jelas di benaknya.

Kaki lelaki itu bergetar tatkala ia telah sampai di tempat tujuannya. Begitu juga dengan hatinya yang turut merasakan getaran itu. Ini tak seperti yang biasa ia rasakan ketika ia datang ke tempat ini untuk menemui istri tercinta. Hampir setiap hari ia mendatangi tempat ini,dan perasannya selalu membuncah bahagia.

Tapi rupanya tidak untuk hari ini, karena ia membawa segunung beban yang harus ia sampaikan pada istri tercinta. Lelaki itupun terpekur tempat itu, tempat dimana perempuan yang sangat dicintainya tertidur untuk selamanya…!!

Tempat yang menjadi peristirahatannya,setelah ia syahid karena berjuang melahirkan anak kedua mereka tiga tahun lalu. Lelaki itu tertunduk pilu,dihadapan gundukan tanah kuburan istrinya. Ia kembali menangis. Hatinya kembali berbisik,seolah kembali berkata dengan sosok istri tercinta.

“Duhai istriku..hari ini aku datang bersama kedua buah hati kita yg sangat berharga.Sekarang Alif sudah besar..Meskipun ia tak sempat merasakan kasih sayangmu, tapi ia tahu bahwa kau sangat menyayanginya.Lihatlah itu Sayang… Alif tengah tersenyum manja.Dan senyumannya itu,sama persis dengan senyumanmu ketika kau tengah merajuk manja padaku. Aku masih ingat,Sayang….Saat aku tengah berkutat lembur dengan tugas –tugas kantor di depan laptopku,kau selalu merajuk manja dengan meminta tidur di pangkuanku sampai aku selesai dengan semua itu..Kau bilang,kau tak bisa tidur sendirian tanpaku. Ah … kau memang manja,tapi aku menyukainya. Dan pada akhirnya,kau pun terlelap di pangkuanku dan aku harus menggendongmu karena kau tak pernah mau berjalan sendiri ketika aku telah selesai dan membangunkanmu untuk pindah ke ranjang kebesaran kita.

Mungkin dirimu bertanya, siapa sosok yang sedang menggendong dan bercanda dengan Alif..Dia adalah…ah.. sebetulnya aku tak sampai hati mengatakannya padamu karena aku tak mau melukaimu..Tapi…. maafkan aku, Sayang…

Hari ini kami datang, di atas batu nisan peristirahatanmu, berdoa demi keselamatanmu,dan keselamatan kami semua.Mungkin bukan restu,tapi kami ingin memberitahumu bahwa beberapa hari lagi kami akan menikah.Dan anak-anak kita akan kembali merasakan kehangatan,kasih sayang,dan cinta seorang ibu.Ya.. Perempuan berjilbab biru itu sebentar lagi akan menjadi istriku.

Jangan cemburu,Sayang….Lihatlah airmataku yang terus meleleh ini. Ini tanda bahwa sesungguhnya aku merasakan beratnya beban yang kurasa dari keputusan yang kuambil ini. Kumohon .. jangan anggap ini sebagai sebuah penghianatan.Semua kulakukan demi kebaikan ..

Laki laki itu menarik nafas panjang dan menghapus air matanya yg masih terus meleleh..

“Ketahuilah Sayang .. Ini keputusan terberat yang aku ambil selama aku mengenalmu.Tapi aku ingat janji yang kita buat dulu saat malam pertamaku bersamamu.Saat itu kita berjanji untuk membina sebuah keluarga yang penuh cinta dalam keimanan dan ketaatan pada NYA. Ada satu kalimatmu yg melatariku mengambil keputusan ini.Kau sudah membuatku berjanji untuk melakukan segala yang terbaik untuk kebahagiaan keluarga kita berdua.

Sayang … Ini keputusan terbaik yang bisa kubuat.Aku bukannya sedang ingin meminta ijinmu untuk memulai sebuah kehidupan baru tanpa kehadiranmu.Bagiku,bagi buah hati kita,dan baginya,kau adalah bagian dari kami yang tak pernah tergantikan,apalagi dilupakan atau hilang..

Hari ini aku datang memperkenalkan seorang anggota baru dalam keluarga kita berdua.Bagiku,dialah pendamping kehidupanku kini,pengganti tugasmu yang telah usai karena kau telah berpulang padaNYA.Dia adalah sosok ibu dari anak anak kita berdua sebagaimana insya Allah,kaupun adalah ummi bagi anak anak kami nanti.Kumohon, anggaplah dia sebagai adik bagimu.

Duhai istriku,tenanglah kau di sisi-NYA.Usah kau gelisah dalam tidur panjangmu.Kami akan melanjutkan apa yang pernah menjadi janji suci kita berdua.Tenanglah kau disana,nantikan kami hingga saatnya nanti kita kembali berkumpul bersama sebagai keluarga yang bahagia di syurga-NYA..”

Laki laki itu menghapus airmatanya, dan beranjak pergi dari sana bersama calon istri dan kedua anaknya. Hatinya kini lega,karena ia tahu,pasti sang istri tercinta juga setuju dengan keputusan yang diambilnya.

Hatinya tiba-tiba berdesir. Angin yang berhembus tenang, menimbulkan perasaan tenang dalam hatinya. Seolah membisikkan kata, tentang seuntai mutiara dari istri tercintanya, sebagai jawaban atas apa yang baru saja disampaikannya.

“ Duhai suamiku tercinta.., aku tahu bahkan sangat tahu bahwa kau tak mungkin menghianati cinta dan kesetiaanku,karena cinta dan kesetiaanmu padaku tak perlu diragukan lagi.. Aku sama sekali tidak keberatan Sayang… Aku justru bangga padamu.. Lakukanlah wahai lentera hatiku, aku ikhla s… aku ridha .. karena aku tahu, sampai kapanpun hatiku dan hatimu akan tetap menyatu .. Sayang…. kaulah imam terbaikku, dan sampai kapanpun kau akan tetap jadi imam kebanggaanku .. Kutunggu kau untuk berkumpul lagi bersamaku, bersama keluarga baru kita, kelak di syurga-NYA..”

Lelaki itu tersenyum penuh arti. Bismillah … ia yakin untuk melakukan keputusan ini. Semesta seolah turut bertasbih, seiring tasbih cinta yang terpatri dalam dada,untuk sang istri tercinta yang kan selalu tetap ada,meskipun ia telah tiada.

“ Terimakasih, Sayang…. “ Gumamnya pelan.

” Duhai pendampingku, akhlakmu permata bagiku .. buat aku makin cinta.. Tetapkan selalu janji awal kita bersatu .. Bahagia sampai ke syurga ...”

~ o ~ o ~o ~ o ~o ~ o ~o ~ o ~o ~ o ~o ~ o ~o ~ o ~o ~ o ~o ~ o ~o ~ o ~o ~ o ~o ~ o ~o ~ o ~

Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya ...


Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/

Belajar menjadi Istri yg sholehah nan cerdas yg cantik luar dalam


Wahai Wanita, Kau Pondasi Rumah Tanggamu Sendiri, Maka Kuatkan Dirimu

Bismillaahirr Rahmanirr Rahim ...

Wahai para wanita, dalam kelemahan fisik dan halusnya perasaanmu, namun tiada terperi kekuatanmu dalam rumah tangga. Kau lah pondasi rumah tanggamu sendiri, yang jika kau lalai, maka bangunan rumah tangga itu akan roboh dan menimpa seluruh keluargamu. Maka hentikan tindakan egoismu, yang mengutamakan kebahagiaanmu sendiri. Percayalah, melayani bukan berarti menjadikan kau pelayan, namun berarti adalah memuliakanmu sebagai wanita yang berbudi dan berakhlak mulia.

Jangan umbar tangisanmu, walaupun kau berhak untuk menangis. Karena jika kau merasa susah terhadap sesuatu, maka bukan hanya dirimu yang akan berduka. Lebih- lebih para suami yang akan lebih merasa karena kewajiban mereka yang memang harus membahagiakanmu. Sampaikan saja seluruh keluh kesahmu kepada yang Maha menyelesaikan dan maha mempunyai jalan keluar, Allah subahanahu wata`ala.

Jangan banyak meminta, walaupun dalam hal hakmu sekalipun jika memang sudah sedemikian sulit suamimu berjuang untuk keluarga.Ringankan bebannya walaupun sedikit. Jangan beratkan tanggung jawabnya walaupun hanya sekedar sikap burukmu yang hanya sesaat.

Bayangkan bagaimana suamimu harus menjawab pertangungan jawabnya kepada Allah atas sebuah ketidakberdayaannya dalam mendidikmu ?. hentikanlah sikap lalaimu sekarang juga.

Jangan banyak mengeluh, sampaikan saja kekurangan dan protes yang ada pada diri suamimu dengan halus, sehalus kau ingin diperlakukan olehnya. Karena rumah tangga adalah tentang komunikasi dan bekerjasama, dan bukan ajang tuntut menuntut, apalagi merinci kekurangannya. Seperti halnya kaupun tak ingin hanya dilihat dari sisi kekuranganmu saja bukan?

Jangan perlihatkan sakitmu kepada sembarang telinga. Karena tiada manusia yang bisa seratus persen dapat dipercaya. Maukah kau saat ternyata orang yang kau percaya justru memanfaatkan sesuatu yang telah kau ceritakan dan kemudia menusukmu dari belakang. InsyaAllah tidak ada yang lebih mengasihimu kecuali Tuhanmu. Maka sampaikan kepadanya segala keluh kesah dan sakitmu, kepadanya, maka akan kau temukan sejatinya obat batinmu yang luka. 

Wahai para wanita, dalam kelemahan fisik dan halusnya perasaanmu, namun tiada terperi kekuatanmu dalam rumah tangga. Kau lah pondasi rumah tanggamu sendiri, yang jika kau lalai, maka bangunan rumah tangga itu akan roboh dan menimpa seluruh keluargamu. Maka hentikan tindakan egoismu, yang mengutamakan kebahagiaanmu sendiri. Percayalah, melayani bukan berarti menjadikan kau pelayan, namun berarti adalah memuliakanmu sebagai wanita yang berbudi dan berakhlak mulia.

Maka kuatkanlah batinmu sekuat yang kau bisa, karena keluargamu membutuhkanmu untuk menguatkan mereka. Dan jika semua sudah diluar kemampuanmu, maka jangan pernah bersandar kepada manusia dalam menguatkan dirimu sendiri. Percayalah, saat kau melayani keluargamu karena Allah, maka Allahpun tak akan menyia- nyiakan mu, dan kau akan lebih terlayani oleh kebaikanNya. InsyaAllah...

Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/

Penyesalan Seorang Istri Yang Membenci Suaminya






Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,  ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya  dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

Wanita Menangis

Bagaimana pendapat kamu dengan “Kisah Paling Sedih” atau cerita paling mengharukan di atas ? saya rasa kamu mulai ingusan dengan mata merah sedikit netesin air mata. Bener kan ? Tolong share ke temen-temen di facebook dong atau like nih kisah paling sedih.
  
Sumber : weberita.com

Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/

Rabu, 09 Mei 2012

Untukmu Para Wanita



Sabda Rasulullah SAW dalam hadis Riwayat Muslim,
"Harta yang paling berharga di dunia adalah wanita yang solehah." 

Ramai manusia menisbahkan kemulian wanita pada kecantikan semata-mata.
Ada juga yang menisbahkan kemuliaan mereka pada kekayaan, dan tidak kurang juga pada keturunan.
Tetapi ini semua adalah penilaian oleh insan yang buta mata hatinya.

Sesungguhnya kemuliaan semua makhluk Allah SWT adalah terletak pada tahap ketaqwaan kepada Allah SWT.
Wanita adalah makhluk Allah yang amat istimewa.

Kemuliaan dan keruntuhan sesuatu bangsa terletak di tangan wanita, walaupun mereka diselubungi kelemahan, tapi teriakan mereka mampu merubah segalanya.

Kerana itulah sebagai anak, dia perlu menjadi anak yang solehah.

Manakala sebagai isteri, dia menjadi isteri yang menyenangkan dan menenangkan hati suaminya.
Sebagai ibu pula, dia akan mendidik anaknya dengan penuh kasih dan sayang.

Firman Allah SWT dalam surah An-Nisa' ayat ke-24 yang bermaksud,
"Barangsiapa yang mengerjakan amalan yang soleh baik lelaki mahupun wanita sedang ia seorang yang beriman maka mereka itu masuk ke dalam syurga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun."

Dalam Islam wanita amat dihormati dan dihargai peranannya. Sebagaimana eratnya hubungan siang dan malam yang saling melengkapi, begitu juga lelaki dan wanita diciptakan untuk saling melengkapi.

Setiap lelaki dan wanita memiliki tugas-tugas dan kewajipan-kewajipan yang berlainan, sesuai dengan fitrah masing-masing. Namun, matlamat hidup setiap lelaki dan wanita adalah sama, iaitu mencari keredhaan Allah SWT.

Rasulullah SAW telah memerintahkan supaya kaum wanita diperlakukan menurut fitrah ia dijadikan sebagaimana dalam sabdanya yang bermaksud,"Berlaku baiklah terhadap kaum wanita lantaran mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok adalah bagian yang teratas, jika kamu coba untuk meluruskannya kamu akan mematahkannya dan jika kamu membiarkannya ia akan tetap bengkok, maka berlaku baiklah kamu terhadap kaum wanita."( HR Al-Bukhari-Muslim)

Nilai wanita bukan terletak pada pakaiannya yang menonjol, berhias diri untuk memperlihatkan kecantikannya, tetapi hakikatnya ialah pada kesopanan, rasa malu dan keterbatasan dalam pergaulan.

Wanita solehah itu adalah wanita yang tegar menjaga maruah serta apa yang lahir dari dirinya, dari hujung rambut hingga hujung kaki, termasuklah wajahnya, suaranya, senyum tawanya, jalannya, tulisannya hatta namanya sekalipun.

Wajahnya bukan aurat tetapi ada kalanya ia menjadi aurat

Dalam mazhab syafie ada khilafnya berdasarkan ayat ke-30 dalam surah an-Nur.

Allah melarang wanita beriman menunjukkan perhiasannya, kecuali apa yang telah zahir daripadanya.
Ulama Syafie berpendapat makna "apa yang zahir daripadanya" adalah muka dan tapak tangan, tetapi bagi wajah yang boleh mengundang fitnah, ia tetap menjadi aurat.

Wanita yang khuatir wajahnya boleh melalaikan lelaki yang memandangnya pasti akan menganggapnya sebagai aurat, lalu mengenakan purdah pada wajahnya.

Mungkin berat bagi wanita bergelar remaja untuk mengamalkannya, tapi cukuplah dengan tidak terlalu menonjolkan diri mereka di hadapan ajnabi atau tidak menjadikan wajah mereka sebagai paparan umum seperti friendster, facebook dan lain-lain.

Suaranya bukan aurat, tapi ada kalanya ia menjadi aurat.

Wanita yang memahami erti kesolehan tidak akan melembutkan suaranya di hadapan ajnabi kerana memahami perintah Allah SWT.

"Maka janganlah kamu melemah lembutkan suara dalam bebicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit hatinya." (Surah Al-Ahzab, 33)

Jadi, bertegaslah apabila berurusan dengan lelaki ajnabi.
Pergaulan yang betul telah Allah ajarkan melalui kisah dua orang puteri Nabi Syuib AS.
Bagaimana mereka ketika ingin memberi minum haiwan ternakan, mereka dapati ramai pengembala di sumur. Hajat mereka tidak kesampaian.

Nabi Musa AS telah mengambil alih tugas mereka.
Apabila selesai memberi minum haiwan ternakan tersebut, salah seorang daripada puteri tersebut mendatangi Nabi Musa AS dengan keadaan malu untuk menyampaikan pesanan ayahnya menjemput Nabi Musa AS ke rumahnya.

Daripada peristiwa ini, Allah menggambarkan wanita solehah itu adalah wanita yang tidak memdedahkan dirinya kepada pandangan umum.

Apabila ia berurusan dengan lelaki ajnabi, maka ia akan tunduk dan melahirkan rasa malu.

Berurusanlah dengan ajnabi tanpa mendatangkan keadaan khalwat (berdua-duaan).

Khalwat paling mudah berlaku dalam hubungan cinta terlarang. Khalwat juga adalah bunga-bunga zina.
Berbual-bual di telefon atau SMS di antara lelaki dan wanita kerana dasar cinta terlarang sehingga menyebabkan nafsu syahwat bergelora juga dikira sebagai khalwat kerana ia berlaku secara berdua-duaan.
Saidina Umar r.a berkata, "Aku lebih rela berjalan di belakang seekor singa daripada berjalan di belakang seorang wanita."

Seorang wanita solehah tidak akan membiarkan lelaki berjalan di belakangnya kerana dia faham seribu satu fitnah boleh timbul daripada keadaan tersebut.

Bagaimana pula keadaan wanita yang tidak melabuhkan jilbabnya apabila lelaki berjalan di belakangnya?

Maka, labuhkanlah tudungmu.

Ketahuilah bahawa pada pagi hari perintah berjilbab diwahyukan kepada Rasulullah SAW,seorang sahabiyah yang masih tidak tahu tentang wahyu tersebut telah keluar dari rumahnya tanpa jilbab. Kemudian seseorang telah menegurnya, "Mengapa engkau tidak berjilbab, adakah engkau tidak tahu tentang perintah memakainya?"
Lalu wanita tersebut berhenti melangkah dan menyuruh seseorang mengambil jilbabnya, lalu beliau berkata, "Aku tidak mahu selangkah pun aku berjalan dalam keadaan melanggari perintah Allah SWT."
Malangnya hari ini apa yang terjadi kepada wanita Islam; bertahun-tahun belajar Islam tetapi masih tiada kekuatan untuk mengamalkannya.

Saudariku,

Bangkitlah dari lenamu yang panjang dan tidak berkesudahan.

Sekali kamu terjatuh, jangan biarkan diri kamu jatuh selamanya.

Kamu punya kekuatan untuk bangkit semula, walaupun kita berdosa sebanyak buih yang memutih di lautan.

Yakinlah kasih sayang dan keampunan Allah terlalu luas.

Saudariku,

Hidup ini seperti mimpi, seorang pengemis bermimpi menjadi seorang raja, dipuji dan dipuja, segala kemuliaan dan kekayaan tunduk kepadanya, tapi bila dia sedar dari lenanya, dia masih seorang pengemis yang miskin dan tidak punya apa-apa.

Seorang raja yang bermimpi, menjadi seorang pengemis yang miskin dan hodoh, dia dihina dan dikeji di setiap persimpangan yang dilalui, tapi bila raja itu sedar dari lena, dia tetap seorang raja.

Matanglah dalam urusan akhiratmu. Jangan kerana kesenangan dunia yang sementara, kau sanggup menempah sengsara di akhirat selamanya.

Janganlah kerana kasih makhluk yang sementara, kau hilang kasih Allah SWT di akhirat sana. Jika kau hilang kasih Allah SWT, nescaya kau akan hilang segalanya.

Saudariku,

Saidatina Aisyah RA pernah berpesan,
"Sebaik-baik wanita adalah yang tidak memandang dan dipandang"

Jangan kau berasa bangga dengan kecantikanmu sehingga kau dikejar jutaan lelaki. Itu bukan kemuliaan bagimu.

Jika kau berasa bangga, kau menyamakan dirimu dengan pepasir di pantai, yang boleh dipijak dan dimiliki sesiapa sahaja.

Muliakanlah dirimu dengan taqwa, setanding mutiara Zabarjad, yang hanya mampu dimiliki penghuni syurga.

Semoga bermanfaat.

Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/

Istri yang Menyejukkan Hati

Bismillahirr Rahmanirr Rahim ...

Sebaris kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi seorang istri yang ingin menjadi perhiasan terindah dunia dan bidadarinya akhirat yaitu wanita shalihah. Semoga melalui kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi seseorang yang mendambakan keluarga sakinah mawadah wa rahmah yang diridhai oleh Allah ‘Azza wa jalla 

Ia menceritakan pengalamannya:
“Ketika aku menikahi Zainab binti Hudair aku berkata dalam hati: Aku telah menikah dengan seorang wanita Arab yang paling keras dan paling kaku tabiatnya. Aku teringat tabiat wanita-wanita bani Tamim dan kerasnya hati mereka. Aku berkeinginan untuk menceraikannya. Kemudian aku berkata (dalam hati): “Aku pergauli dulu (yaitu menikah dan berhubungan dengannya), jika aku dapati apa yang aku suka, aku tahan ia. Dan jika tidak, aku ceraikan ia.”

Kemudian datanglah wanita-wanita bani Tamim mengantarkannya. Dan setelah ditempatkan dalam rumah, aku berkata, “Wahai fulanah, sesungguhnya menurut sunnah apabila seorang wanita masuk menemui suaminya hendaklah si suami shalat dua rakaat dan si istri juga shalat dua rakaat.”

Akupun bangkit mengerjakan shalat kemudian aku menoleh ke belakang ternyata ia ikut shalat di belakangku. Seusai shalat para budak-budak wanita pengiringnya datang dan mengambil pakaianku dan memakaikan padaku pakaian tidur yang telah dicelup dengan za’faran.

Dan tatkala rumah sudah kosong, aku mendekatinya dan aku ulurkan tanganku kepadanya. Ia berkata, “Tahan dulu (sabar dulu).”

Aku berkata dalam hati, “Satu malapetaka telah menimpa diriku.” (yakni musibah telah menimpa dirinya)

Lalu ia memuji Allah kemudian memanjatkan shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Aku adalah seorang wanita Arab. Demi Allah, aku tidak pernah melangkah kecuali kepada perkara yang diridhai Allah. Dan engkau adalah lelaki asing, aku tidak mengenali perilakumu (yakni aku belum mengenal tabiatmu).

Beritahulah kepadaku apa saja yang engkau suka hingga aku akan melakukannya dan apa saja yang engkau benci hingga aku bisa menghindarinya.”

Aku berkata kepadanya, “Aku suka begini dan begini (Syuraih menyebutkan satu persatu perkataan, perbuatan, makanan dan segala sesuatu yang disukainya) dan aku benci begini dan begini (Syuraih menyebutkan semua perkara yang ia benci).”

Ia berkata lagi, “Beritahukan kepadaku siapa saja anggota keluargaku yang engkau suka bila ia mengunjungimu?”
Aku (Syuraih) berkata, “Aku adalah seorang qadhi, aku tidak suka mereka (anggota keluargamu) membuatku bosan.”

Maka akupun melewati malam yang paling indah, dan aku tidur tiga malam bersamanya. Kemudian aku keluar menuju majelis qadha’, dan aku tidak melewati satu hari melainkan hari itu lebih baik daripada hari sebelumnya.

Tibalah waktu kunjungan mertua.
Yaitu genap satu tahun (setelah berumah tangga).
Aku masuk ke dalam rumahku. Aku dapati seorang wanita tua sedang menyuruh dan melarang.

Aku bertanya, “Hai Zainab, siapakah wanita ini?”
Istriku menjawab, “Ia adalah ibuku.”
“Marhaban”, sahutku.
Ia (ibu mertua) berkata, “Bagaimana keadaanmu hai Abu Umayyah?”
“Alhamdulillah baik-baik saja”, jawabku.
“Bagaimana keadaan istrimu?” Tanyanya.
Aku menjawab, “Istri yang paling baik dan teman yang paling cocok. Ia mendidik dengan baik dan membimbing adab dengan baik pula.”

Ia berkata, “Sesungguhnya seorang wanita tidak akan terlihat dalam kondisi yang paling buruk tabiatnya kecuali pada dua keadaan: Apabila sudah punya kedudukan di sisi suaminya dan apabila telah melahirkan anak. Apabila engkau melihat sesuatu yang tak mengenakkan padanya pukul saja. Karena, tidaklah kaum lelaki memperoleh sesuatu yang lebih buruk dalam rumahnya selain wanita warhaa’ (yaitu wanita yang tidak punya kepandaian dalam melakukan tugasnya).

Syuraih berkata, “Ibu mertuaku datang setiap tahun sekali kemudian ia pergi sesudah bertanya kepadaku tentang apa yang engkau sukai dari kunjungan keluarga istrimu ke rumahmu?” Aku menjawab pertanyaannya, “Sekehendak mereka!” Yaitu sesuka mereka saja.

Aku hidup bersamanya selama dua puluh tahun, aku tidak pernah sekalipun mencelanya dan aku tidak pernah marah terhadapnya.”
Dikutip dari buku Agar Suami Cemburu Padamu karya Dr. Najla’ As-Sayyid Nayil, penerbit Pustaka At-Tibyan

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Saudariku yang baik, Menjadi wanita sholehah adalah harapan setiap muslimah, karena wanita sholehah adalah sebaik baik perhiasan dunia yang sehelai rambutnya tak terbeli oleh apapun di dunia dan hanya wanita sholehahlah yang mampu melahirkan generasi Robbani yang selalu siap memikul Jihad Islamiyah menuju puncak kejayaan sepanjang masa.

Semoga kita semua ya saudariku Muslimah menjadi wanita yang memiliki nilai diri dihadapan Ilahhi, melangkah dalam satu tujuan mengharap ridho Illahi... Aamiin ya Alloh ya Rabbal'alamin ..

Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/