Senin, 06 September 2010

Kembali Fitri atau Kembali Fitrah?



Oleh Shodiqiel Hafily


Hilal 1 Syawal 1429 tak lama lagi kan terbitkan sesungging senyuman, aroma menu-menu lebaran telah menerpa hidung, iklan-iklan telah saling mendahului menyampaikan ucapan:
SELAMAT IDUL FITRI 1429 H
MINAL ‘AIDIN WA AL-FAIZIN
TAQABBAL ALLAH MINNA WA MINKUM
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN
tak terkecuali saya, di header dan sidebar blog, telah memasang banner maupun ucapan serupa untuk merayakan Hari Kemenangan.


Hari Kemenangan

Hari raya dilarang (diharamkan) puasa, hari raya adalah hari makan-makan, berbagi suka cita bahagia bersama, setelah sebulan penuh menempa diri dalam balutan lapar mendamba seberkas sinar pancaran Lailatul Qadar. Kita semua butuh kesenangan sebagai pelecut semangat dalam menjalani hidup yang kian membuat penat.

Kumandang takbir bergemuruh di lorong-lorong gang, di jalan-jalan, di rumah-rumah dan di mana-mana disertai silaturahmi, saling bersalaman dan memaafkan demi jiwa yang fitri (suci). Sebab, jiwa tidak dapat fitri selagi hak-hak manusia lainnya belum kita minta kemaafan dan kehalalannya atau belum kita jalani ketentuan hukumannya.

Seberapapun saleh amal ibadah ditunaikan, jika dosa sosial – apalagi dosa publik – belum “diluruskan” duduk perkaranya, maka jiwa tetap menjadi terdakwa yang proses peradilannya – cepat atau lambat – tetap menanti di kemudian hari untuk dijalani. Tiada “Hari Kemenangan” kecuali bagai mereka yang telah terbebas dari jeratan hukum dan dosa-dosanya telah mendapat ampunan. Itulah makna Idul Fitri (kembali pada kesucian jiwa).


Hari Raya Fitrah

Disebut Idul Fitri karena selain puasa sebulan bertujuan agar kembali pada kesucian jiwa, juga disempurnakan dengan zakat fitrah. Zakat fitrah harus kita baca sebagai bentuk nyata dari upaya pembebasan diri dengan memberikan penebus kepada mereka yang haknya ada di tangan kita. Tidak selayaknya kita baca “fiTrah” dalam “arab-jawa” (fi=di dalam, trah=kebiasaan). Sebab jika itu yang terjadi, maka berapa kalipun Ramadhan datang dan pergi silih berganti, tidak dapat membentuk sosok pribadi suci.

Bagimana mungkin akan terbentuk sebuah karakteristik takwa dan mulia sebagai tujuan utama puasa, jika seusai puasa sebulan kemudian kembali kepada kebiasaan semula?! Kontrol yang ketat selama sebulan dilepas dan diurai begitu saja, mulai dari cara makan, bicara, berbuat dsc. Yang asalnya gemar ngrumpi (ghibah), manipulasi, korupsi, dansa-dansi dan sumber-sumber pemuasan syahwat lainnya kembali diterjuni sebagaimana semula. Jika puasa dengan cara begini, habis usia tiada hasil yang berarti.
2,5 kg sebagai penebus Jiwa yang fitri? Memang itulah takaran zakat fitrah yang ditentukan dalam syariat.

Hanya saja, meniik tujuannya adalah demi kesucian jiwa, takaran itu tidak sebanding (terlalu minim) dengan’imbalan’ yang diharapkan. Belum lagi jika bicara solidaritas sosial dan ukhuwah Islamiyah. Bersediakah kita bayar lebih?


Puasa 6 Hari Syawal

Selain nilai pahalanya, puasa 6 hari di bulan Syawal dimaksudkan agar kita tidak larut dalam euforia “Hari Kemenangan” yang menyebabkan kita terlena dalam luapan hura-hura. Oleh karena itu, disunnahkan puasa 6 hari Syawal dan diutamakan langsung seusai 1 Syawal, yakni mulai tanggal 2 s/d 7 Syawal. Sekiranya tidak demikian, masih didapat juga nilai pahala kesunnatannya dengan puasa 6 hari kapanpun selagi masih dalam bulan Syawal, baik berurutan maupun terpisah-pisah.

6 hari Syawal, adalah penyempurna dari Ramadhan agar dapat bernilai setara dengan puasa setahun terus-menerus. Itu jika kita ambil ukuran standar 1 kebaikan berbalas 10, maka sebulan Ramadhan bernilai 300 hari dan 6 hari Syawal bernilai 60 (300+60=360 hari).

Barang siapa berpuasa Ramadhan dan menyertakannya dengan 6 hari di bulan Syawal, maka – seolah-olah – berpuasa setahun.” Al-Hadits.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar